title
Lecture
Aug 13, 2025
8 mins read

POLEMIK KEBUDAYAAN MANUSIA INDONESIA: DUNIA BARU DAN KEBUDAYAAN BARU

Bagikan

Ringkasan Eksekutif

GREAT Lecture dengan tajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” yang diselenggarakan di Jakarta pada 14 Agustus 2025 oleh GREAT Institute, menghadirkan Menteri Kebudayaan Dr. H. Fadli Zon sebagai orator utama bersama tokoh politik, akademisi, sastrawan, dan budayawan lintas disiplin. Forum ini menjadi ruang refleksi atas arah kebudayaan Indonesia di tengah krisis identitas dan arus globalisasi, sekaligus melanjutkan tradisi polemik kebudayaan yang telah berlangsung sejak era Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane hingga pertarungan Manifes Kebudayaan dan Lekra.

Dalam orasinya, Fadli Zon menekankan perlunya “penemuan ulang jati diri” bangsa dengan merujuk pada warisan peradaban Nusantara yang panjang—dari temuan arkeologis Homo erectus, lukisan gua purba, hingga ribuan warisan budaya takbenda. Indonesia dinilai memiliki potensi besar menjadi episentrum kebudayaan dunia apabila mampu meneguhkan narasi kebangsaannya. Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, menegaskan pentingnya sensitivitas budaya bagi elite politik, agar kepemimpinan tidak terlepas dari konteks sosial masyarakat.

Sosiolog Okky Madasari menekankan bahwa penulisan ulang sejarah Indonesia hanya akan bermakna bila dilakukan secara inklusif dengan melibatkan berbagai kalangan, bukan sekadar proyek negara. Sementara itu, Hetifah Sjaifudian (Wakil Ketua Komisi X DPR RI) menggarisbawahi bahwa kebudayaan harus ditempatkan sebagai fondasi pembangunan nasional yang memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah, parlemen, dunia pendidikan, dan komunitas budaya. Para penanggap lainnya juga menekankan pentingnya ruang dialektika yang terbuka, plural, serta responsif terhadap dinamika era digital.

Diskusi interaktif yang melibatkan 129 peserta luring dan 350 peserta daring melalui YouTube menghasilkan tiga rekomendasi strategis: (1) penyusunan narasi “Penemuan Kembali Manusia Indonesia” dengan menegaskan identitas bangsa yang maritim, kosmopolitan, dan adaptif; (2) penulisan ulang sejarah Indonesia secara inklusif dengan melibatkan akademisi, budayawan, dan komunitas lokal; serta (3) penguatan diplomasi kebudayaan global untuk menempatkan Indonesia sebagai pusat kebudayaan dunia.

Dengan demikian, GREAT Lecture tidak hanya mereproduksi polemik kebudayaan lama, tetapi juga membuka jalan bagi perumusan strategi kebudayaan baru yang berorientasi pada jati diri bangsa, kemandirian, dan peran aktif Indonesia dalam percaturan global. Forum ini menegaskan bahwa kebudayaan merupakan kekuatan strategis yang harus dijadikan pijakan pembangunan nasional di bidang politik, ekonomi, maupun sosial, sekaligus sebagai modal bagi Indonesia untuk tampil sebagai bangsa besar di dunia.

Latar Belakang

Di tengah arus globalisasi dan krisis identitas, perdebatan mengenai arah kebudayaan Indonesia kembali mengemuka. Pertanyaan pokoknya: apakah manusia Indonesia adalah “terjajah”—pasif dan terpinggirkan—atau justru “petarung” yang resilien dan kreatif dalam membentuk sejarahnya sendiri? Polemik ini bukan semata wacana akademik, melainkan menyentuh jantung persoalan jati diri bangsa, terlebih ketika generasi muda kian terputus dari akar sejarah dan narasi kebudayaan sering kali didominasi pihak luar.

Sejarah menunjukkan bahwa perdebatan serupa telah lama berlangsung. Polemik Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane di era 1930-an mempertentangkan orientasi modernitas Barat dengan nilai mistis-spiritual Timur. Pada 1950–1960-an, pertarungan antara Manifes Kebudayaan dan Lekra menandai tarik-menarik antara kebebasan ekspresi individu dengan tuntutan ideologis revolusioner. Ketegangan ini berlanjut hingga Orde Baru, ketika negara berupaya memonopoli kebudayaan, meski tidak mampu sepenuhnya membendung arus perlawanan intelektual dan kebudayaan alternatif.

Memasuki era Reformasi dan digital, revolusi informasi mengubah lanskap kebudayaan secara drastis. Media sosial memunculkan partisipasi anonim yang mempercepat “kematian kepakaran” sekaligus membuka ruang demokratisasi budaya. Namun, tradisi kolektivisme Indonesia kini berhadapan dengan patrimonialisme yang menyuburkan oligarki, sebagaimana dikritik dengan istilah “Serakahnomics”. Di sisi lain, muncul kesadaran baru akan panjangnya usia peradaban Nusantara—dari situs arkeologis Sangiran hingga Gunung Padang—serta narasi maritim yang menempatkan Indonesia sebagai simpul jaringan global kuno.

Dengan demikian, manusia Indonesia perlu dilihat bukan sekadar korban kolonialisme atau modernitas, tetapi sebagai pelaku sejarah yang pernah berjaya di panggung dunia. Revisi narasi kebudayaan nasional menjadi penting: dari yang pasif dan terpinggirkan, menuju narasi heroik, partisipatif, dan kosmopolitan. Hanya dengan cara itu, bangsa ini dapat menemukan kembali jati dirinya dan menempatkan kebudayaan sebagai fondasi pembangunan nasional.

Tujuan Kegiatan

Seminar dan diskusi ini bertujuan memunculkan polemik baru dalam kebudayaan Indonesia, di mana dunia yang baru di era digital akan memunculkan kebudayaan baru sebagai sintesa dari polemik lama kebudayaan manusia Indonesia.

Polemik baru ini diharapkan menjadi pondasi bagi kebijakan Pemerintahan Prabowo Subianto dalam bidang kebudayaan, dimana kebijakan tersebut memiliki dimensi yang utuh dan lengkap dalam bidang-bidang sebagai berikut:

• Politik, menjadikan masyarakat berpartisipasi secara aktif dalam mengawal konsolidasi demokrasi. • Ekonomi, menjadikan masyarakat menjadi pelaku aktif ekonomi dengan etos kerja tinggi sebagaimana leluhur bangsa ini di era kejayaan Nusantara masa lalu. • Sosial, menjadikan masyarakat memiliki nilai-nilai individu dan sosial yang luhur untuk memandu bangsa ini menjadi maju dan siap bertarung di masa depan.

Rangkaian

• Hari & Tanggal: Kamis, 14 Agustus 2025 • Waktu: 12.00 – 16.00 WIB • Tempat: Sultan Hotel & Residence • Format: Kuliah umum, tanggapan panelis, diskusi interaktif

Narasumber dan Penanggap Utama

• Pidato Sambutan: Dr. Syahganda Nainggolan (Ketua Dewan Direktur GREAT Institute) • Orasi Kebudayaan: Dr. H. Fadli Zon - Menteri Kebudayaan Republik Indonesia • Penanggap: Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian. M.P.P., Ketua Komisi X DPR RIOkky Madasari, Ph.D, Sosiolog dan Sastrawan IndonesiaAlfathri Adlin, S.Ds., M.Phil., Aktivis Studia Humanika ITBMuhammad Misbahudin, Ahli FilsafatJanet de Neefe, Founder Director Ubud Writers & Readers FestivalHanief Adrian, S.T., M.I.P., Pengamat Geopolitik dan Kebijakan GREAT Institute • Moderator: Khalid Zabidi, Direktur Komunikasi GREAT Institute

Resume dan Pokok Pembicaraan

GREAT Lecture dengan tajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” yang berlangsung di Jakarta pada 12–14 Agustus 2025 menjadi ruang penting bagi refleksi kebangsaan. Acara yang diprakarsai GREAT Institute ini menghadirkan Menteri Kebudayaan, Dr. Fadli Zon, sebagai orator utama bersama sejumlah intelektual, sosiolog, akademisi, dan budayawan lintas bidang. Forum ini mengangkat kembali perdebatan lama tentang kebudayaan nasional yang sejak era Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane hingga polemik Manifes Kebudayaan versus Lekra, selalu menjadi medan dialektika intelektual yang menentukan arah identitas bangsa.

Dalam orasinya, Fadli Zon menekankan bahwa Indonesia perlu melakukan “penemuan ulang jati diri” di tengah krisis budaya dan tantangan globalisasi. Ia menyoroti betapa Indonesia memiliki modal historis dan kultural yang luar biasa: dari temuan arkeologis Homo erectus, lukisan gua purba di Sulawesi, hingga ribuan warisan budaya takbenda, meski hanya sebagian kecil yang telah diakui UNESCO. Menurutnya, Indonesia berpotensi besar menjadi episentrum kebudayaan dunia bila mampu merawat dan menegaskan narasi kebangsaannya sendiri.

Sejalan dengan itu, Syahganda Nainggolan mengingatkan bahaya ketika elite politik tidak memahami kebudayaan lokal di wilayah kepemimpinannya. Kebutaan terhadap kultur masyarakat, menurutnya, justru berpotensi memicu konflik sosial. Perspektif ini menegaskan bahwa kebudayaan tidak hanya menjadi ranah simbolik, melainkan juga penopang stabilitas politik dan sosial.

Sosiolog Okky Madasari menekankan pentingnya kebebasan narasi dalam sejarah kebudayaan. Ia mendukung inisiatif penulisan ulang sejarah nasional, tetapi mengingatkan agar proyek tersebut tidak dimonopoli pemerintah, melainkan melibatkan akademisi, sastrawan, dan masyarakat luas. Bagi Okky, sejarah sejati lahir dari perlawanan terhadap narasi dominan, sehingga keragaman tafsir harus dijaga sebagai kekayaan bangsa.

Dalam kesempatan yang sama, Hetifah Sjaifuddin, Wakil Ketua Komisi X DPR, menambahkan bahwa kebudayaan tidak boleh dipandang sebagai sektor pinggiran. Ia menegaskan bahwa kebudayaan merupakan fondasi dari pembangunan nasional, sebab nilai, identitas, dan daya saing bangsa berakar dari sana. Karena itu, menurut Hetifah, perlu ada kolaborasi erat antara pemerintah, DPR, komunitas budaya, dan dunia pendidikan untuk memastikan agenda kebudayaan berjalan inklusif dan berkelanjutan.

Diskursus dalam GREAT Lecture juga memperlihatkan strategi dialektika yang unik. Acara ini tidak hanya menghadirkan “panggung terbuka” yang dapat diakses publik, tetapi juga “ruang rahasia” di mana gagasan diuji dalam perdebatan intelektual yang lebih intens. Format ganda ini mencerminkan upaya menjaga kedalaman wacana sekaligus keterhubungan dengan publik luas.

Keseluruhan forum memperlihatkan bahwa polemik kebudayaan di Indonesia bukanlah sekadar pertarungan ide, tetapi sebuah kebutuhan untuk merumuskan ulang identitas nasional di tengah arus zaman. Perdebatan tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita hendak menuju, terus hidup dan menemukan relevansinya. Dari GREAT Lecture ini, tampak jelas bahwa kebudayaan adalah ruang dialektika yang mesti dibiarkan terbuka, plural, dan dinamis—agar Indonesia benar-benar dapat berdiri sebagai pusat kebudayaan dunia.

Tindak Lanjut dan Rekomendasi

Sebagai tindak lanjut dari acara tersebut, GREAT Institute mengusulkan rencana tindak lanjut dan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

Pemerintah bersama DPR, akademisi, dan komunitas kebudayaan menyusun kerangka narasi kebudayaan nasional yang menekankan identitas manusia Indonesia sebagai bangsa maritim, kosmopolitan, dan berperadaban panjang dan mampu beradaptasi dalam dunia dan kebudayaan baru.

Membentuk tim lintas disiplin yang melibatkan sejarawan, antropolog, sastrawan, budayawan, dan perwakilan komunitas lokal, serta menjamin keterbukaan akses sumber arsip, riset arkeologi, dan tradisi lisan dari berbagai daerah.

Menjadikan potensi Indonesia sebagai episentrum budaya dunia sebagai agenda resmi diplomasi luar negeri dengan cara menyelenggarakan pameran, festival, dan pertukaran budaya internasional untuk meneguhkan posisi Indonesia di dunia.

GREAT Lecture bertajuk “Polemik Kebudayaan Manusia Indonesia: Dunia Baru dan Kebudayaan Baru” telah menjadi ruang refleksi bersama bagi para pemikir, budayawan, akademisi, dan pemimpin politik untuk merumuskan kembali arah kebudayaan nasional di tengah perubahan global. Melalui dialektika yang terbuka, forum ini mempertegas bahwa kebudayaan bukan sekadar warisan masa lalu, melainkan kekuatan strategis dalam membangun jati diri bangsa, memperkuat demokrasi, dan meneguhkan posisi Indonesia di dunia.

Dengan demikian, hasil pemikiran, rekomendasi, dan rencana tindak lanjut dari forum ini diharapkan dapat menjadi pijakan nyata bagi pengambil kebijakan, masyarakat sipil, dan generasi muda dalam mewujudkan Indonesia yang berdaulat secara budaya, berdaya secara politik, serta berperan aktif dalam peradaban global.

Bagikan