Reforma agraria di Indonesia memiliki akar historis pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang dimaksudkan untuk menghadirkan pemerataan akses terhadap lahan bagi seluruh rakyat. Namun, setelah lebih dari enam dekade, persoalan ketimpangan penguasaan lahan masih menjadi problem struktural yang belum terselesaikan. Realitas menunjukkan bahwa akses terhadap lahan, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan, masih sangat timpang.
Di perkotaan, keterbatasan lahan pemukiman diperparah dengan tata ruang yang lebih berpihak pada kepentingan pengembang. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah semakin sulit mendapatkan hunian yang layak dan terjangkau. Sementara di pedesaan, mayoritas petani masih berada dalam kondisi landless atau tidak memiliki lahan sendiri, sehingga distribusi lahan tetap timpang dan berimplikasi pada rendahnya kesejahteraan petani.
Di sisi lain, hak ulayat masyarakat adat juga kian melemah akibat berbagai regulasi sektoral yang sering kali tumpang tindih dengan prinsip-prinsip agraria nasional. Melemahnya hak ulayat ini tidak hanya mengurangi kedaulatan masyarakat adat atas ruang hidupnya, tetapi juga menimbulkan konflik agraria yang terus berulang.
Secara kelembagaan, pelaksanaan reforma agraria juga menghadapi tantangan serius. Dorongan untuk membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) sebagai lembaga khusus di bawah Presiden menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk menghadirkan institusi yang kuat, terintegrasi, dan memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan agenda reforma agraria. Namun, hingga kini kelembagaan pelaksana reforma agraria belum berjalan efektif.
Lebih jauh, persoalan integrasi kebijakan juga masih menjadi kendala mendasar. Belum adanya penyatuan arah antara kebijakan tata ruang perkotaan, agraria pedesaan, dan agenda reforma agraria nasional membuat pelaksanaan di lapangan kerap bersifat sektoral dan parsial. Akibatnya, cita-cita reforma agraria untuk menghadirkan keadilan sosial melalui pemerataan akses lahan masih jauh dari tercapai.
• Tema Kegiatan: Reforma Agraria Dalam Konteks Perkotaan dan Pedesaan: Ketimpangan, Hak Ulayat, Tata Ruang, dan Badan Pelaksana Reforma Agraria • Hari dan Tanggal: Rabu, 01 Oktober 2025 • Waktu: 12.00 sampai dengan 16.30 • Tempat: Kantor GREAT Institute, Jl. Taman Gunawarman Timur No. 15, Selong, Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Jakarta.
Moh Jumhur Hidayat, Ketua Dewan Penasihat GREAT Institute
Hanief Adrian, S.T., M.I.P., Peneliti GREAT Institute
• Radityo Egi Pratama, S.T. (Bupati Lampung Selatan) • Ahmad Irawan, S.H., M.H. (Anggota DPR RI Komisi II) • Dr. Yagus Suyadi, S.H., M.Si. (Kepala Divisi Perolehan Tanah I Badan Bank Tanah)
• Rudi Rubijaya, S.P., M.Sc., Direktur Landreform Kementerian ATR/BPN • Dr. Agung Indrajit, ST, M.Sc., Deputi Bidang Transformasi Hijau dan Digital Otorita IKN • Prof. Dr. Ir. Budi Mulyanto, MSc, Guru Besar Bidang Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB • Dr. Lilis Mulyani, SH, M.PIL, Senior Researcher BRIN • Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria • Arwin Lubis, Aktivis Pertanahan '80 ITB • Ir. Hendry Harmen, MT, GREAT Institute
Diskusi FGD tentang reforma agraria menyoroti berbagai persoalan mendasar terkait penguasaan dan distribusi tanah di Indonesia, serta mencari alternatif solusi kelembagaan maupun kebijakan. Dari awal, para pembicara menekankan bahwa meskipun reforma agraria telah lama diperkenalkan melalui UUPA 1960, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Moh Jumhur Hidayat (Ketua Dewan Penasihat GREAT Institute) menekankan adanya ketimpangan kepemilikan tanah dengan rasio gini mencapai 0,78, serta perlunya model reforma agraria yang sesuai dengan konteks Indonesia, yaitu model populis yang berpihak pada penggarap, bukan sekadar kontrol negara seperti model komunis.
Ahmad Irawan (Anggota DPR RI Komisi II) memperdalam isu ini dengan menyoroti penguasaan tanah oleh Kementerian Kehutanan yang mencapai 60%, yang berimplikasi pada status ilegal ribuan desa yang sudah lama bermukim di kawasan tersebut. Ia menegaskan perlunya lembaga khusus yang kuat, seperti Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA), untuk menata tumpang tindih aturan sektoral dan menghadirkan kepastian hukum.
Dari perspektif kelembagaan, Dr. Yagus Suryadi menjelaskan peran Badan Bank Tanah, termasuk konsep bank tanah yang ditujukan untuk ekonomi berkeadilan, meskipun implementasinya tidak boleh terjebak pada orientasi profit. Hal ini ditegaskan pula oleh Rudi Rubijaya (Direktur Land Reform Kementerian ATR/BPN) yang menyoroti pentingnya kebijakan lintas sektor melalui one map policy dan pembentukan BPRA agar konflik agraria dapat diurai lebih sistematis.
Beberapa pembicara menyoroti bahwa reforma agraria tidak hanya terkait tanah, tetapi juga sumber daya lain seperti laut dan udara. Prof. Budi Mulyanto (Guru Besar IPB) dan Dr. Agung Indrajit (Deputi Transformasi Hijau dan Digital OIKN) menekankan perlunya penataan ruang berbasis informasi yang jelas dan terintegrasi, termasuk pemanfaatan solusi digital untuk meminimalisir konflik lahan.
Sementara itu, Dr. Lilis Mulyani (Senior Researcher BRIN) menyoroti dinamika historis reforma agraria dari era 1960-an hingga saat ini, yang kerap bergeser sesuai kepentingan politik. Ia menilai praktik reforma agraria cenderung business as usual dengan fokus mencari objek, bukan menyelesaikan konflik struktural. Kritik tajam juga datang dari Dewi Kartika (Sekjen KPA) yang menegaskan bahaya menjadikan tanah semata sebagai komoditas ekonomi. Ia menekankan tanah memiliki fungsi sosial, sehingga reforma agraria harus berorientasi pada keadilan, kedaulatan pangan, pengentasan kemiskinan, dan pemberdayaan desa.
Perspektif perkotaan dijelaskan oleh Ir. Hendry Harmen (GREAT Institute), yang menyoroti krisis perumahan, spekulasi tanah, dan tata ruang yang pro-pengembang. Ia mengajukan perlunya paradigma baru hunian vertikal, optimalisasi lahan negara, dan pembiayaan inklusif agar reforma agraria perkotaan lebih adil. Pandangan historis juga disampaikan oleh Arwin Lubis (Aktivis Pertanahan ’80 ITB) yang mengingatkan bahwa ketimpangan agraria telah meningkat sejak masa kolonial, dan bahwa prinsip dasar UUPA 1960 menegaskan negara tidak boleh memperlakukan tanah sebagai komoditas dagang.
Secara umum, diskusi ini menggarisbawahi beberapa pokok pemikiran utama:
• Reforma agraria harus dikembalikan pada tujuan awalnya, yakni menekan ketimpangan, memberi kepastian hukum, menyelesaikan konflik agraria, serta memperkuat kesejahteraan rakyat. • Kelembagaan yang kuat, terutama pembentukan BPRA, diperlukan untuk mengintegrasikan kebijakan dan mengatasi tumpang tindih aturan sektoral. • Hak ulayat masyarakat adat harus diperkuat, mengingat banyak wilayah adat yang hingga kini masih terpinggirkan secara hukum. • Reforma agraria tidak bisa hanya berfokus pada pedesaan, tetapi juga harus mencakup perkotaan dengan isu perumahan rakyat, tata ruang, dan spekulasi tanah. • Orientasi reforma agraria harus menjauhi logika liberalisasi tanah dan investasi semata, dengan meneguhkan kembali fungsi sosial tanah sesuai amanat konstitusi.
Berdasarkan hasil Focus GREAT Discussion dengan tema “Reforma Agraria dalam konteks Perkotaan dan Pedesaan: Ketimpangan, Hak Ulayat, Tata Ruang, dan Badan Pelaksana Reforma Agraria” yang dilakukan oleh perwakilan pemerintah, akademisi, praktisi, dan aktivis pertanahan, dihasilkan rekomendasi kebijakan Panca Prakarsa Agraria sebagai berikut:
• Seluruh regulasi terkait agraria (bumi, air, angkasa dan kekayaannya) harus berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 1, 2 dan 3 serta UU Pokok Agraria 1960. • Badan Pelaksana Reforma Agraria harus dipimpin langsung oleh Presiden sebagai Ketua Dewan Pengarah Reforma Agraria dan dikepalai oleh tokoh ideologis isu agraria. • Sumber daya agraria selain memiliki fungsi ekonomi, harus memiliki fungsi sosial yang dilindungi oleh Negara. • Badan Pelaksana Reforma Agraria perlu memiliki Deputi Tafsir Tegas untuk menyelesaikan perbedaan tafsir antar lembaga negara dalam pemanfaatan tata guna dan sumber daya agraria. • Tata guna dan pemanfaatan sumber daya agraria harus berdasarkan satu sistem pemetaan nasional dengan mempertimbangkan hak-hak individu dan hak ulayat dalam kepemilikan agraria.
Dari Focus GREAT Discussion dengan tema “Reforma Agraria dalam konteks Perkotaan dan Pedesaan: Ketimpangan, Hak Ulayat, Tata Ruang, dan Badan Pelaksana Reforma Agraria” telah membedah masalah-masalah agraria dan reforma agraria yang selama ini dilakukan di Indonesia. Ketimpangan lahan yang masih besar, backlog perumahan dan masalah penyediaan lahan di perkotaan, dan sulitnya penyelesaian konflik agraria saat ini merupakan hal yang mendesak harus segera diselesaikan.
Reforma agraria masih menjadi pilihan sebagai program penataan ulang pertanahan di Indonesia. Namun selama ini, terutama 10 tahun terakhir, pelaksanaannya masih perlu dievaluasi. Saat ini, Presiden Prabowo Subianto akan melaksanakan program Reforma Agraria guna mencapai swasembada pangan. Maka dari itu, sebagai bentuk evaluasi dari program-program reforma agraria sebelumnya, perlu dibentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria (BPRA) sebagai badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan bersifat super-body dalam melaksanakan program-programnya.
