title
Lecture
Sep 10, 2025
14 mins read

Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8%

Bagikan

Jakarta, Kamis, 11 September 2025

GREAT Lecture dengan tajuk “Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8%” yang diselenggarakan di Jakarta pada 11 September 2025 oleh GREAT Institute, menghadirkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Ph.D sebagai pembicara utama bersama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Komisi XI DPR, akademisi, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Forum ini menjadi arena konsolidasi gagasan ekonomi: dari kalibrasi likuiditas dan sinkronisasi fiskal–moneter, percepatan penyerapan APBN dan penataan Transfer ke Daerah, hingga penguatan intermediasi keuangan dan agenda manufaktur/industri. Tujuannya adalah menyalakan dua mesin sekaligus, sehingga kebijakan tidak saling meniadakan, dan pertumbuhan tinggi benar-benar inklusif.

Dalam pidatonya, Menkeu Purbaya menekankan jika pertumbuhan ekonomi 8 persen sejatinya bukan merupakan hasil akhir namun suatu kebutuhan yang mesti diusahakan dengan sungguh-sungguh bila Indonesia ingin lepas dari middle income trap.  Ia mencontohkan pengalaman Jepang, Korea Selatan, dan China yang pernah merasakan pertumbuhan dua digit dalam kurun waktu yang tidak singkat. Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Syahganda Nainggolan, menegaskan pentingnya pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk dicapai melalui program-program yang inklusif dan pro rakyat, sehingga pertumbuhannya yang tidak hanya tinggi secara angka, namun juga inklusif dan merata.

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menekankan jika pertumbuhan ekonomi 8 persen bukan suatu utopia jika kita mampu menggerakkan dua kebijakan fiskal dan moneter. Sementara itu, Didik Madiyono (Plt. Ketua Dewan Komisioner LPS) menyebut bahwa peran LPS adalah memastikan adanya kepercayaan dari masyarakat terhadap sektor perbankan agar tingkat tabungan swasta naik sehingga modal dapat digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Perdana Wahyu Santosa (Akademisi) memberikan timeline bagaimana pertumbuhan 8 persen dapat dicapai secara bertahap. Para pembicara lainnya juga menekankan pentingnya kerja keras, optimisme, dan sinergi sehingga pertumbuhan 8 persen dapat dicapai.

Diskusi interaktif yang melibatkan 312 peserta luring menghasilkan lima rekomendasi strategis: (1) transformative budget dan reformasi pajak; (2) dorongan sektor riil yang inklusif; (3) arsitektur pembiayaan & penurunan biaya dana; (4) daya saing perdagangan, logistik, dan transisi energi; dan (5) eksekusi kebijakan, sdm industri & inovasi. 

Dengan demikian, GREAT Lecture ini tidak sekadar mengulang wacana pertumbuhan, tetapi memformulasikan jalur eksekusi lewat likuiditas terkalibrasi, APBN yang efektif, dan orkestrasi fiskal–moneter–sektor keuangan agar pertumbuhan tinggi sekaligus inklusif dapat dicapai secara bertahap. Landasan kepercayaan di sistem keuangan—yang dijaga LPS dan KSSK—menjadi modal kunci untuk keluar dari jebakan 5 persen dan menapaki lintasan 6–8 persen.

Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam dua dekade terakhir mengalami stagnasi struktural. Meski mampu bertahan dalam berbagai krisis, rerata pertumbuhan tetap berkisar di angka 5 persen. Angka yang cukup untuk menunjukkan ketahanan, tetapi belum mampu menembus ambang lepas landas. Dalam jangka panjang, ini berisiko menempatkan Indonesia dalam jebakan negara berpendapatan menengah permanen. Ketika stabilitas menjadi kredo utama, daya dorong untuk akselerasi justru melemah.

Krisis global 2008 menjadi titik balik penting ketika dunia menyadari bahwa stabilitas pasar keuangan tak cukup menjamin keberlanjutan pertumbuhan. Sejak saat itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat menerapkan kebijakan luar biasa seperti quantitative easing dan reshoring industri. Ketika suku bunga global mulai naik secara agresif pada 2022–2023, banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali menghadapi tekanan utang dan pelemahan mata uang. Di sisi lain, tren proteksionisme makin menguat, diperparah oleh tarif Trump yang menjadi pemicu arus balik globalisasi serta fragmentasi rantai pasok.

Namun dalam menghadapi ketidakpastian global tersebut, Indonesia justru menggandakan fokus pada apa yang disebut sebagai “trinitas stabilitas”, yaitu inflasi, suku bunga, dan nilai tukar. Tiga indikator ini dijaga nyaris secara absolut sebagai simbol tata kelola yang kredibel. Tetapi ketika trinitas ini menjadi tujuan, bukan alat, maka yang dikorbankan adalah ruang kebijakan untuk ekspansi produktif, insentif industri, dan transformasi fiskal. Kita melindungi angka, tetapi kehilangan momentum untuk tumbuh.

Indonesia sudah mulai menargetkan pertumbuhan di atas 5 persen dalam RAPBN 2026, sebagai pijakan menuju ambisi 6–8 persen di 2029. Namun, kerangka kebijakan yang ditempuh masih cenderung gradual dan linear. Hilirisasi komoditas, misalnya, masih didominasi oleh ekstraksi sumber daya primer tanpa terhubung dengan restrukturisasi manufaktur dan adopsi teknologi. Reformasi fiskal dan moneter tetap bergerak dalam orbit lama yang defensif, sementara strategi pembiayaan jangka panjang dan industrial policy belum sepenuhnya menjadi arus utama. Targetnya meningkat, tetapi jalannya belum menjanjikan untuk sebuah lompatan besar.

Selain itu, di dalam negeri juga menghadapi tantangan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Kredit produktif masih lesu meski Bank Indonesia menurunkan suku bunga, menandakan adanya hambatan non-harga dalam intermediasi. Masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha mikro sering kali enggan menabung di lembaga formal karena keraguan terhadap keamanan simpanan mereka. Padahal, tabungan kecil yang terakumulasi luas dapat menjadi sumber dana murah (DPK) untuk membiayai sektor riil. Survei OJK 2022 mencatat tingkat inklusi keuangan Indonesia sudah mencapai 85 persen, tetapi literasi baru 49 persen. Artinya, banyak masyarakat sudah memiliki akses rekening atau produk keuangan, tetapi belum sepenuhnya percaya pada lembaga formal. Dengan demikian, agenda inklusi keuangan bukan hanya soal literasi atau akses, tetapi fondasi trust yang dapat menjamin bahwa dana masyarakat aman sekaligus dapat kembali ke sektor riil.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa Indonesia membutuhkan desain ulang kebijakan ekonomi: dari paradigma defensif menuju kerangka progresif yang lebih berani. Pertumbuhan 6–8 persen bukan sekadar angka ambisius, melainkan panggilan untuk merancang ulang kerangka kebijakan yang melibatkan seluruh mesin pertumbuhan nasional: fiskal yang agile dan ekspansif, kebijakan industri yang tajam, intermediasi keuangan yang inklusif dan berbasis kepercayaan (trust-led growth), serta keberanian negara dalam mengintegrasikan kekuatan domestik sebagai fondasi transformasi.

Dalam kesempatan ini, GREAT Lecture hadir untuk menantang narasi tersebut. Narasi pertumbuhan 6 persen–8 persen bukan sekadar angka impian, melainkan panggilan untuk merancang ulang kerangka kebijakan yang melibatkan seluruh mesin pertumbuhan nasional: fiskal yang agile dan ekspansif, kebijakan industri yang tajam, sektor keuangan yang aktif mendorong nilai tambah, serta keberanian negara dalam mengintegrasikan kekuatan domestik sebagai fondasi transformasi. Forum ini bukan hanya menawarkan gagasan alternatif, tetapi juga mengusulkan jalur keluar dari jebakan stagnasi yang terlalu lama dianggap normal.

Tujuan Kegiatan

Seminar dan diskusi ini bertujuan memunculkan gagasan baru dalam ekonomi Indonesia—berpindah dari paradigma “menjaga stabilitas” menuju sintesis akseleratif yang menyalakan dua mesin pertumbuhan (pemerintah dan swasta) untuk mencapai pertumbuhan 8 persen yang inklusif. Gagasan ini diharapkan menjadi pondasi kebijakan Pemerintahan Prabowo Subianto di bidang ekonomi dengan dimensi yang utuh sebagai berikut:

Menyatukan bauran kebijakan agar saling menguatkan: likuiditas terkalibrasi, APBN yang terserap cepat (minim kas menganggur, kontraktual dini), penataan Transfer ke Daerah yang tidak membebani daerah, serta KSSK sebagai conductor koordinasi dan transparansi data, sehingga dorongan fiskal tidak dipadamkan operasi moneter.

Menggeser hilirisasi dari ekstraksi ke manufaktur bernilai tambah (elektronik, kimia, farmasi/alkes, agro-processing, baterai/EV), menurunkan biaya logistik, memperkuat ketahanan energi sambil mempercepat transisi hijau yang terukur, dan menaikkan produktivititas lewat vokasi dual system serta adopsi teknologi dengan Danantara/BUMN berperan sebagai derisker yang transparan, tanpa menciptakan crowding-out.

Mengembalikan dana masyarakat ke sektor riil melalui intermediasi berbasis kepercayaan: penguatan LPS sebagai jangkar trust, arsitektur penjaminan nirlaba dan risk-sharing untuk UMKM/koperasi, pendalaman dana jangka panjang (asuransi & pensiun), serta perluasan inklusi keuangan agar pertumbuhan tinggi berbuah pada lapangan kerja berkualitas dan pemerataan manfaat.

Melalui kerangka ini, GREAT Lecture tidak hanya menawarkan arah, tetapi juga mengajukan pertanyaan kunci “what would have to be true?”. Prasyarat politik, kelembagaan, dan struktural yang harus dipenuhi agar target 6–8 persen menjadi skenario kebijakan yang rasional, dapat dieksekusi, dan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.

• Pidato Sambutan: Dr. Syahganda Nainggolan, Ketua Dewan Direktur GREAT InstituteDidik Madiyono, S.E., M.M., Plt. Ketua Dewan Komisioner LPS • Orasi Kebudayaan: Purbaya Yudhi Sadewa, Ph.D., Menteri Keuangan Republik Indonesia • PenanggapHerman Saheruddin, Ph.D.Prof. Perdana Wahyu Santosa, CRP, CSA, QWP.Dr. Tito Sulisto, SE., MAF.Dr. H. Mukhamad Misbakhun, S.E., M.H. • Pembawa Acara: Khalid Zabidi, Direktur Komunikasi GREAT Institute • Moderator: Dr. Pardomuan Sihombing, S.E., M.S.M., Praktisi dan Akademisi Bidang Keuangan

GREAT Lecture dengan tajuk “Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8%” yang berlangsung di Jakarta, 11 September 2025, diprakarsai GREAT Institute bekerja sama dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menghadirkan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, Ph.D sebagai orator utama, bersama Komisi XI DPR RI, LPS, akademisi, serta pengambil kebijakan. Forum ini menempatkan percepatan pertumbuhan 6–8 persen sebagai proyek kebijakan yang perlu orkestrasi fiskal–moneter, pemulihan intermediasi keuangan, dan agenda industrialisasi yang pro‐rakyat sehingga lonjakan angka juga bermakna inklusif bagi masyarakat luas.

Dalam paparannya, Menkeu Purbaya menegaskan bahwa 8 persen adalah kebutuhan, bukan sekadar target, jika Indonesia ingin lepas dari middle-income trap. Ia merujuk pengalaman Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok yang pernah memasuki fase pertumbuhan sangat tinggi secara konsisten. Kunci Indonesia ada pada permintaan domestik dan investasi yang mendominasi PDB; karena itu, “nasib ekonomi ada di tangan kita sendiri”—asalkan kebijakan domestik tidak saling mengerem. Menkeu menolak fokus tunggal pada suku bunga (rate-centric) dan menekankan likuiditas riil: tahun ini pemerintah akan menambah M0 sekitar Rp200 triliun sebagai quick win, diiringi pemantauan penyerapan APBN lewat unit khusus dan penataan Transfer ke Daerah (TKD) untuk meredakan keresahan di daerah. Dua mesin—pemerintah dan swasta—harus menyala serentak agar akselerasi ke 6–6,5 persen dalam 1–2 tahun menjadi mungkin, sebelum melaju ke 7–8 persen melalui reformasi yang lebih dalam.

Sejalan dengan itu, Ketua Dewan Direktur GREAT Institute Syahganda Nainggolan mengingatkan bahwa pertumbuhan tanpa pemerataan “tak ada gunanya”. Narasi didorong dari growth with equity menuju growth through equity—menguatkan koperasi sebagai soko guru (potensi tambahan 0,5–1 persen jika ekosistemnya tertata) dan mendorong industrialisasi serta knowledge-based economy. Pesan etiknya lugas: Menkeu tak boleh jadi “menara gading”, kebijakan harus lahir dari dialog dengan publik dan dunia usaha.

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menegaskan bahwa “Pertumbuhan 8 persen bukan utopia” jika fiskal dan moneter sama-sama “di-gas”. Ia mengkritik ekonomi biaya tinggi dan kekeringan likuiditas di sektor riil ketika bank menikmati imbal hasil SBN/SRBI 6–7 persen tanpa risiko: “uang menghasilkan uang di pasar uang”, bukan di pabrik dan warung. Solusinya adalah orkestrasi KSSK (Kemenkeu, BI, OJK, LPS) yang nyata, agar transmisi kebijakan fiskal–moneter tidak saling meniadakan. BUMN diharapkan kembali pada fungsi pembangunan (agent of development) dan Danantara diposisikan sebagai penggerak pasar: mengungkit sektor prioritas, menata aset, dan mendukung pemerataan wilayah.

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tito Sulistio menilai sinyal Menkeu menambah M0 Rp200 triliun sebagai langkah konkret yang memberi kejelasan arah. Ia mengulas rating kedaulatan (perjalanan dari kategori spekulatif menuju investment grade) seraya menekankan tujuan berikutnya: menaikkan peringkat untuk menurunkan biaya dana. Tito juga mengusulkan garansi kredit UMKM tanpa agunan hingga Rp2 miliar diperluas lewat lembaga penjaminan nirlaba (bukan berorientasi profit) agar bunga turun dan inklusi naik. Ia mendorong transparansi Danantara (portofolio, target imbal hasil bertahap) dan menyampaikan opsi kebijakan federal-reserve swap line serta eksplorasi stablecoin sebagai infrastruktur dolar digital untuk menekan biaya dana—seraya menegaskan bahwa semua butuh sosialisasi agar mendapat legitimasi publik.

Herman Saheruddin (LPS) memaparkan finance–growth nexus: pertumbuhan membutuhkan penciptaan likuiditas dalam perekonomian, bukan sekadar likuiditas perbankan. Ia mengibaratkan air banyak di oasis (likuiditas perbankan memadai), tetapi padang rumput tetap haus karena adanya hambatan (friksi regulasi, preferensi bank pada aset aman, penyaluran kredit yang “picky”). Karena itu, dorongan likuiditas makro harus tersalur melalui intermediasi, bersamaan dengan penguatan asuransi & dana pensiun untuk pasok dana panjang. Ia menegaskan peran LPS sebagai arsitektur kepercayaan: ketika bank gagal, simpanan dijamin sehingga tabungan masyarakat kembali ke sistem—multiplier ekonomi tetap bekerja. Mulai 2028, LPS juga akan menjalankan penjaminan polis asuransi, memperkuat trust jangka panjang.

Akademisi Perdana Wahyu Santosa menyajikan timeline bertahap 2025–2030. Tahun 2025 fokus pada konsolidasi dan fondasi (stabilitas pasca pemilu, blueprint ekonomi rakyat, digitalisasi pajak, persiapan carbon tax, macroprudential pro-UMKM, awal hilirisasi berbasis mineral). Tahun 2026–2027 berlanjut pada rebalancing menuju transformative budget (belanja produktif di atas 35–40 persen APBN), rasio pajak ke 12 persen, vokasi industri 4.0, R&D, dan green energy. Kemudian tahun 2028–2029 menandai momentum struktural—ekspor manufaktur lebih besar dari 50 persen total ekspor, rasio pajak 12,5–13,5 persen, dan trust-led growth seiring kredibilitas kebijakan menguat. Akhirnya pada tahun 2030 mencapai fase transformatif–inklusif dengan pertumbuhan 7,8–8,0 persen dan PDB per kapita di atas USD 7.500,—dengan syarat konsistensi lintas rezim dan reformasi birokrasi agar kenaikan angka benar-benar dirasakan luas.

Keseluruhan forum memperlihatkan bahwa akselerasi ke 6–8 persen bukan perkara satu tuas, melainkan orkestrasi: (1) likuiditas terkalibrasi dan tersalur (bukan hanya ditambah), (2) APBN yang bekerja cepat pada proyek ber-multiplier dan TKD yang menenangkan daerah, (3) intermediasi berbasis kepercayaan—dengan LPS sebagai jangkar dan penguatan dana jangka panjang, (4) Kebijakan Industri 2.0 untuk manufaktur & ekspor bernilai tambah, serta (5) KSSK sebagai conductor agar pemerintah–swasta–BUMN–koperasi dapat bekerja dengan baik secara bersamaan. Dengan kombinasi disiplin kebijakan dan konsistensi eksekusi, lintasan 6–8 persen tampil rasional dan dapat dieksekusi seraya menjaga agar tingginya pertumbuhan sejalan dengan luasnya kemaslahatan.

Data dan Statistik Peserta

Kegiatan ini mendapatkan antusiasme tinggi dari berbagai kalangan, baik yang hadir secara langsung maupun yang mengikuti secara daring. Tercatat sebanyak 312 peserta hadir secara luring (offline) di lokasi acara, yang terdiri dari akademisi, praktisi, mahasiswa, serta perwakilan lembaga pemerintah dan swasta.

Sementara itu, melalui kanal YouTube, acara ini telah disaksikan oleh lebih dari 198.000 penonton melalui tautan berikut: , mencerminkan tingginya minat publik terhadap topik yang diangkat dalam GREAT Lecture ini. Jumlah ini juga menunjukkan jangkauan acara yang luas melalui platform digital, sehingga mampu menjangkau audiens di luar peserta yang hadir secara fisik.

Dokumentasi Kegiatan

Untuk menjangkau khalayak yang lebih luas dan meningkatkan partisipasi publik, undangan terbuka untuk kegiatan GREAT Lecture ini telah disebarluaskan melalui kanal media sosial resmi GREAT Institute. Penyebaran dilakukan dalam bentuk konten video pendek (reels/shorts) yang menginformasikan waktu, tema, dan narasumber acara.

Tautan undangan dapat diakses melalui platform berikut:

• TikTok: • Instagram: • YouTube Shorts: • X (Twitter): • Facebook:

Penyebaran ini merupakan bagian dari strategi komunikasi digital GREAT Institute untuk memperluas jangkauan informasi serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan edukatif dan strategis.

Tindak Lanjut dan Rekomendasi

Sebagai tindak lanjut dari acara tersebut, GREAT Institute mengusulkan rencana tindak lanjut dan rekomendasi kebijakan berikut:

Menetapkan transformative budget dengan porsi belanja produktif 35–45 persen dari APBN (infrastruktur berkualitas, kesehatan, pendidikan, riset, perlindungan sosial yang tepat sasaran), disertai percepatan kontraktual/pengadaan agar nilai uang segera bekerja. Di sisi penerimaan, dorong kenaikan rasio pajak menuju 12–14 persen melalui digitalisasi pemungutan pajak, integrasi data kepatuhan, penutupan celah pajak, serta persiapan kebijakan karbon yang terukur.

Memperdalam hilirisasi yang terhubung ke manufaktur bernilai tambah (elektronik, kimia, farmasi, agro-processing, ekosistem EV) dengan insentif berbasis kinerja/ekspor dan link & match pemasok lokal. Secara paralel, susun blueprint ekonomi kerakyatan untuk koperasi modern, UMKM, dan BUMDes yang meliputi standardisasi tata kelola, digitalisasi, pendampingan, serta bauran makroprudensial yang pro-UMKM dan perluasan skema garansi kredit agar inklusi keuangan menjadi pengungkit pertumbuhan.

Bangun basis dana panjang domestik dengan memperkuat asuransi/dana pensiun (solvabilitas, tata kelola, dan produk), serta kembangkan instrumen infrastructure trusts, sekuritisasi, dan covered bonds. Dorong peta jalan kenaikan rating dan akses swap line (regional/global) untuk menurunkan cost of funds; kelola komposisi/tenor utang agar kredibel. Posisikan Danantara sebagai derisker/co-investor yang transparan (inventarisasi aset idle, hurdle rate dan target IRR bertahap) sehingga dana swasta ikut terungkit tanpa crowding-out.

Mempercepat perjanjian dagang strategis, menyederhanakan ekspor–impor melalui national single window, dan membongkar hambatan pelabuhan/pergudangan untuk menurunkan biaya logistik dan memperbesar porsi ekspor manufaktur. Dorong transisi energi yang terkalibrasi (tender RE berbasis volume, blended finance, efisiensi energi industri) guna mencapai bauran energi bersih tanpa mengganggu stabilitas harga dan daya saing.

Memperkuat kapasitas eksekusi lintas-kementerian (opsi Dewan Ekonomi Nasional sebagai problem-solving unit), didukung dashboard kinerja untuk transparansi dan akuntabilitas. Tingkatkan kapabilitas tenaga kerja lewat vokasi dual-system (magang berinsentif), perluas insentif R&D (super-deduction), dan perkuat kemitraan kampus–industri agar produktivitas serta kemampuan inovasi naik konsisten dan menopang pertumbuhan yang inklusif.

Penutup

GREAT Lecture bertajuk “Transformasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8%” menegaskan satu hal pokok: target pertumbuhan tinggi bukan sekadar angka ambisius, melainkan kebutuhan strategis agar Indonesia keluar dari middle income trap dan menapaki lintasan 6–8 persen yang benar-benar inklusif. Konsensus para narasumber bertemu pada tiga pilar: sinkronisasi fiskal–moneter yang kredibel, intermediasi keuangan berbasis kepercayaan (trust-led growth), serta kebijakan industrial yang mendorong manufaktur bernilai tambah sembari merawat dimensi pemerataan melalui koperasi, UMKM, dan peningkatan kualitas SDM.

Forum ini juga memperjelas bahwa kecepatan eksekusi sama pentingnya dengan desain kebijakan. Likuiditas yang terkalibrasi, APBN yang terserap cepat, TKD yang menenangkan ruang daerah, dan arsitektur pembiayaan jangka panjang adalah kunci agar nilai uang segera bergerak ke sektor riil. Di sisi lain, ketahanan energi dan penurunan biaya logistik menjadi prasyarat daya saing, sementara reformasi pajak, vokasi, dan inovasi memastikan lonjakan pertumbuhan tidak meninggalkan siapa pun di belakang.

Sebagai Lembaga yang berlandaskan gagasan, GREAT Institute memandang rangkaian rekomendasi dalam laporan ini sebagai peta kerja bersama, bukan semata daftar harapan. Kami mendorong kolaborasi erat Kementerian Keuangan, BI, OJK, LPS, Komisi XI DPR, dunia usaha, akademia, dan komunitas kebijakan untuk memastikan setiap butir rekomendasi bermuara pada output yang nyata: harga dana yang lebih murah, kredit produktif yang lebih luas, proyek ber-multiplier yang terealisasi, dan peluang kerja bermutu yang bertambah.

Akhir kata, kami menyampaikan apresiasi kepada seluruh pembicara dan peserta yang telah memperkaya diskursus dengan data, nalar, dan keberanian dalam mengambil posisi. Semoga laporan ini menjadi rujukan operasional bagi para pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi dalam menyalakan dua mesin pertumbuhan—pemerintah dan swasta—secara serempak, sehingga pertumbuhan tinggi sejalan dengan pemerataan manfaat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Bagikan

GREAT Institute