
Pendahuluan
Pertumbuhan kebutuhan energi di dunia terus berkembang seiring waktu. Pertumbuhan penduduk dan industri yang terus berkembang meningkatkan kebutuhan akan energi, terutama ketenagalistrikan. Ketergantungan terhadap energi fosil menjadikan sektor energi penyumbang gas emisi rumah kaca terbesar (Lihat gambar 1(Kiri)). Konsentrasi gas rumah kaca, baik dari CO2 (Karbondioksida), CH4 (Metana), ataupun N2O (Nitrit oksida), meningkatkan suhu dunia yang mengakibatkan terjadinya pemanasan global (Lihat gambar 1(Kanan)).

Saat ini, industri di dunia maupun di Indonesia, masih bergantung pada energi fosil. Di Indonesia sendiri, kebutuhan akan tenaga listrik terus meningkat. Tenaga listrik di Indonesia masih bertumpu pada energi fosil.

Bertumpunya pembangkit tenaga listrik di Indonesia dengan energi fosil mengakibatkan Indonesia menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar di Asia Tenggara (Lihat Gambar 3.).

Dengan ambisi untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 dan mencapai kemandirian energi nasional, agenda transisi energi sudah seharusnya menjadi agenda utama yang harus dijalankan. Tercapainya kemandirian energi nasional menjadi salah satu program utama pemerintahan Presiden Prabowo di samping kemandirian pangan dan air. Untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri diperlukan pasokan energi dari berbagai sumber. Salah satu alternatif sumber energi yang paling efisien, rendah emisi, ramah lingkungan dan sudah berjalan baik di beberapa negara maju adalah energi nuklir.
Nuklir merupakan suatu sumber energi hasil reaksi fisi (nuklei terbelah) atau fusi (bersatunya dua nuklei) dari nukleus (inti atom) (Krane, 1987). Hasil dari reaksi tersebut membentuk reaksi berantai yang menghasilkan energi dalam jumlah yang besar. Dari sisi efisensi, energi yang dihasilkan dari fisi nuklir jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil atau sumber energi terbarukan lainnya. Satu kilogram uranium-235 dapat menghasilkan energi hampir 3 juta kali lebih besar dibandingkan dengan satu kilogram batu bara.
Indonesia saat ini memiliki problem krisis energi di mana kebutuhan konsumsi energi dalam negeri belum bisa dipenuhi oleh sumber energi dalam negeri. Adapun teknologi nuklir secara umum masih dibayang-bayangi ketakutan masa lalu terutama soal perang dan kecelakaan reaktor. Padahal sejak tahun 1954 Presiden Sukarno sudah dicanangkan pembangunan PLTN. Indonesia merupakan satu dari dua negara bersama India yang mendapat rekomendasi dari IAEA. Saat ini India sudah memiliki beberapa PLTN.
Jika ingin mengukir sejarah, Pemerintah harus memahami sejauh mana tantangan dan hambatan tersebut bisa teratasi sehingga pada tahun 2032 Indonesia dapat mengoperasikan PLTN.
Potensi dan Rencana Implementasi Tenaga Nuklir di Indonesia
Dalam mewujudkan kedaulatan negara, Presiden Prabowo Subianto memiliki keinginan agar Indonesia swasembada dalam pangan, air, dan energi. Untuk mencapai swasembada energi dan dan NZE 2060, Presiden Prabowo ingin mengurangi ketergantungan terhadap energi fossil dan menambah porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran listrik. Energi nuklir menjadi salah satu pilihan sebagai sumber energi yang akan menggantikan energi fossil (RUPTL, 2021). Pemerintah Indonesia merencanakan pembangunan PLTN sebagai bagian dari rencana transisi energi dengan target 75 GW dari energi baru dan terbarukan, Energi nuklir diharapkan dapat menyumbang 4,3 GW. Indonesia sendiri sedang dalam pembahasan kerjasama dengan Rusia untuk membangun PLTN.

Indonesia memiliki banyak sumber daya mineral yang dibutuhkan untuk PLTN, seperti di Kalimantan yang memiliki 45 ribu ton Uranium dan 7 ribu ton Thorium. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia bisa segera mencapai swasembada energi jika PLTN berhasil dioperasikan. Kebutuhan lahan dari PLTN 50 kali lebih rendah dari PLTU dan 18 hingga 27 kali lebih rendah dibandingkan PLTS. Satu kilogram dari uranium saja bisa menghasilkan energi selama 73 tahun (Permana, 2024).
Tantangan Dalam Implementasi Nuklir
Aspek Komunikasi
Salah satu faktor penyebab gagalnya Pembangunan PLTN selama ini adalah lemahnya strategi komunikasi pemerintah. Masyarakat berada dalam bayang-bayang ketakutan karena ketidaktahuan mengenai energi nuklir. Misalnya kasus pencemaran di daerah Serpong beberapa tahun lalu. Sampai sekarang tidak jelas penyelesaiannya. Masyarakat masih menanti jaminan keselamatan, jaminan tidak adanya kebocoran, dan yang tak kalah penting jaminan bahwa proyek sebesar ini tak akan dikorupsi. Ketidakjelasan tersebut yang menimbulkan kelompok yang kontra dengan implementasi energi nuklir. Kegagalan dalam komunikasi publik tersebut dapat kontraproduktif terhadap rencana implementasi energi nuklir di Indonesia.

Mulai saat ini pemerintah perlu menggalang opini tentang sisi positif PLTN. Bahkan secara komunikasi, sifatnya harus lebih revolusioner mengingat kondisi Indonesia yang masuk kategori krisis energi. PLTN harus dikomunikasikan secara cerdas, seperti di Amerika Serikat, juru kampanye soal nuklir adalah mantan Miss America yang juga seorang sarjana nuklir.
Komunikasi yang dikeluarkan harus lebih fokus menarasikan potensi dari energi nuklir dan memberikan keyakinan pada masyarakat, narasi yang diangkat dapat berbentuk seperti ‘Dari risiko ke clean energy, dari trauma ke kedaulatan nasional’. Cerita energi harus disampaikan dengan cara yang bisa dimengerti rakyat, bukan dengan istilah teknis yang dingin dan elitis. Indonesia bisa belajar juga dari Jepang dalam membangun kepercayaan publik, salah satunya melalui model redistribusi hasil, di mana sekitar 2% pendapatan PLTN akan masuk ke kas desa-desa di sekitar PLTN.
Aspek Pertahanan dan Keamanan
Dalam konteks pertahanan dan keamanan, PLTN bisa berkembang dengan fungsi sebagai senjata nuklir. Lokasi PLTN juga harus menghitung aspek geopolitik. Sistem kendali PLTN harus diamankan oleh aparat yang paham teknologi nuklir.
Serangan siber bisa menjadi senjata destruktif yang riil. Maka dari itu, komponen pertahanan dan bela negara harus jadi bagian dari desain sistem nuklir nasional. Ancaman bencana datang bukan hanya bencana alam, tetapi juga bencana buatan. Seolah-olah bencana, tapi sesungguhnya itu buatan negara lain.
Prediksi ke depan, perang semakin asimetris dan saat ini ada potensi perang dunia ketiga. Untuk menjadi negara kuat, tidak ada pilihan lain kita harus mempunyai nuklir.
Aspek Politik dan Tata Pemerintahan
Program PLTN selama ini mengalami kegagalan karena rendahnya konsistensi pemerintah. Setiap membahas topik PLTN selalu muncul isu lain yang menutupi sehingga program PLTN tidak berjalan lebih lanjut. Kunci dari keberhasilan implementasi PLTN adalah adanya kestabilan situasi politik dan kondisi ekonomi. Sebenarnya PLTN adalah masuk kegori Non Site Spesific yang bisa dibangun di mana saja. Dari sisi persyaratan ada yang kategori wajib dipenuhi (mandatory) yaitu security, safety & safeguard. Ada juga syarat yang tidak mandatory sesuai IAEA yaitu pemilihan teknologi, manajemen pengelolaan dan strategi pengembangan. Sayangnya, kita lebih sering sibuk di syarat yang tidak mandatory.
Untuk meyakinkan publik harus ada lembaga pengawas independen, bebas KKN dan bebas intervensi yang isinya orang-orang yang kredibel dan kompeten. Adanya lembaga ini membuat publik tenang karena operasional PLTN akan diawasi oleh lembaga yang kredibel. Secara kelembagaan, program pengembangan PLTN ini masuk kategori strategis sehingga membutuhkan badan otonom yang diangkat langsung oleh Presiden. Seperti contoh pembentukan BRR Aceh paska terjadinya bencana tsunami. Badan ini bekerja profesional dan kinerja suksesnya bukan hanya diakusi secara nasional, tetapi juga dunia.
Belajar dari kecelakaan Reaktor Nuklir di Fukushima, Jepang, banyak hal yang harus dipersiapkan oleh Indonesia, tidak sekedar uang dan teknologi. Banyak hal non-teknis juga antara lain kesiapan masyarakat, kesiapan SDM dan juga pengawasan. Secara khusus kecelakaan Fukushima terjadi karena desain sistem reaktor yang sepenuhnya didesain enginer Amerika, ternyata tidak mampu mengantisipasi adanya tsunami setinggi 15 meter yang terjadi saat itu (desain reaktor untuk tsunami 9 meter).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Tantangan pembangunan PLTN bukan lagi hanya soal teknologi atau pendanaan, melainkan pada keberanian mengambil keputusan, ketegasan dalam regulasi, konsistensi kebijakan dan kecerdasan dalam membangun narasi. Pemerintah disini harus benar-benar dapat meyakinkan publik tentang potensi yang dimiliki oleh energi nuklir dan dampak positif yang akan didapat. Transparansi, akuntabilitas, dan konsistensi menjadi penting jika serius untuk mengimpelementasikan energi nuklir.
Maka dari itu, GREAT Institute merekomendasikan pemerintah untuk membentuk badan otonom yang independen, seperti Direktorat Jenderal Ketenaganukliran dibawah Kementerian ESDM yang secara khusus menjalankan implementasi kebijakan nuklir, termasuk PLTN. Adapun secara bisnis sebaiknya PT. Industri Nuklir Indonesia (INUKI) dibuat independen dan tidak digabung ke dalam BUMN lain sehingga bisa lebih leluasa membangun kerjasama dengan swasta lain dalam mengembangkan bisnis nuklir.