title
FGD
Jul 04, 2025
6 mins read

Potensi Perang Dunia dan Kesiapan Indonesia ke Depan

Bagikan

Dalam merespons dinamika geopolitik global yang semakin kompleks dan tidak menentu, Great Institute menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Potensi Perang Dunia dan Kesiapan Indonesia ke Depan” pada hari Jumat, 4 Juli 2025. Kegiatan ini menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai bidang, seperti ekonomi, hubungan internasional, pertahanan dan keamanan, hingga kebijakan publik.

Diskusi ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya eskalasi konflik antara Amerika Serikat, Israel, dan Iran, yang turut menyeret negara besar seperti Rusia dan China ke dalam konflik tersebut. Situasi tersebut membawa konsekuensi serius terhadap stabilitas ekonomi global, khususnya dalam hal ketahanan energi, logistik, dan pasokan pangan yang sangat mempengaruhi Indonesia sebagai negara dengan ketergantungan impor energi dan bahan pangan yang tinggi.

FGD dibuka secara resmi oleh Ketua Dewan Direktur Great Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, yang menegaskan bahwa kondisi dunia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Oleh karena itu, diperlukan diskursus strategis lintas sektor guna menyusun arah kebijakan nasional yang adaptif dan antisipatif terhadap perkembangan geopolitik internasional.

Salah satu narasumber utama, ekonom Dradjad Hari Wibowo, memaparkan bahwa tantangan utama Indonesia dalam menghadapi dampak konflik global terletak pada ketahanan fiskal nasional. Ia menekankan bahwa meskipun visi Presiden Prabowo sangat visioner, terutama dalam hal swasembada pangan, energi nasional, dan pertahanan, namun realisasi dari visi tersebut memerlukan dukungan fiskal yang kuat dan terukur. Ia menyebut bahwa pada tahun 2025 Indonesia memerlukan penerimaan sebesar Rp3.900 triliun. Sementara, penerimaan negara per Juni 2025 tercatat hanya Rp1.451 triliun, lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya.

Sementara itu, Dr. Anton Permana menyampaikan bahwa Indonesia harus meningkatkan kesiapsiagaan nasional dalam menghadapi potensi konflik global. Ia mengidentifikasi empat titik konflik utama dunia saat ini, yakni di Ukraina, Timur Tengah, Asia Timur (Taiwan dan Korea), serta Laut China Selatan. Ia menekankan pentingnya pembentukan Dewan Keamanan Nasional sebagai lembaga yang dapat mengintegrasikan aspek intelijen, diplomasi, pertahanan, dan kebijakan publik secara menyeluruh.

Helmy Fauzy, mantan duta besar Indonesia untuk Mesir, menyoroti posisi Indonesia dalam lanskap strategis regional. Ia mengingatkan bahwa pergeseran 60% kekuatan militer Amerika Serikat ke Asia Pasifik menjadikan kawasan ini sebagai episentrum baru konflik geopolitik, yang berbeda dengan pada masa perang dingin yang berfokus di benua Eropa dan war on terror di Timur Tengah. Menurutnya, Indonesia perlu memperkuat peran strategis ASEAN dan menghidupkan kembali semangat Konferensi Asia-Afrika guna membangun solidaritas Global South. Ia juga menyambut baik langkah Indonesia yang bergabung ke dalam kelompok BRICS sebagai upaya reposisi diplomasi global.

Dari aspek hukum dan ketatanegaraan, Komjen Iza Fadri menyampaikan bahwa berdasarkan UUD 1945, Presiden Republik Indonesia memiliki kewenangan penuh sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan untuk menetapkan status keadaan darurat serta menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam kondisi luar biasa. Namun demikian, ia mengingatkan bahwa Indonesia masih belum memiliki skenario kontinjensi dan sistem peringatan dini (early warning system) yang terstruktur untuk menghadapi eskalasi krisis geopolitik.

Pemerhati intelijen dan keamanan, Dr. Stepi Anriani, menggarisbawahi bahwa bentuk perang modern tidak lagi konvensional, melainkan bersifat simultan dan multidimensi. Ia mencontohkan strategi Rusia dalam invasi ke Ukraina yang diawali dengan serangan terhadap infrastruktur telekomunikasi. Ia menekankan pentingnya pelatihan Komando Cadangan (Komcad), penguatan pertahanan siber, serta penyusunan skenario menghadapi krisis seperti lonjakan harga minyak (oil shock).

Sementara itu, analis militer Dr. Rizal Darma Putra membuka paparannya dengan melihat kembali sejarah panjang kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang berakar dari strategi containment pada era Perang Dingin. Strategi ini, yang dipelopori oleh George Kennan, bertujuan menahan laju pengaruh komunisme yang saat itu dipimpin oleh Uni Soviet. Namun, seiring dengan runtuhnya Soviet, Amerika bertransformasi menjadi kekuatan unipolar yang dengan leluasa melakukan intervensi ke berbagai negara seperti Irak dan negara lainnya.

Saat ini, posisi China yang sedang tumbuh pesat dianggap sebagai ancaman utama oleh Amerika, yang merespons dengan memperkuat hubungan dengan negara-negara di sekitar China, termasuk Indonesia. Meskipun Indonesia bukan bagian dari aliansi formal seperti Korea Selatan, kedekatan strategis tetap menjadi bagian penting dari pendekatan Amerika di kawasan Indo-Pasifik.

Menyambung dengan yang disampaikan oleh Dr. Rizal, Dr. Sunoto menyoroti betapa rapuhnya situasi keamanan global saat ini, termasuk gencatan senjata antara Iran dan Israel yang menurutnya sangat mudah runtuh. Dalam konteks ini, ia menekankan bahwa Indonesia perlu meninjau ulang doktrin dan strategi pertahanannya. Perang modern tidak lagi membutuhkan invasi besar-besaran, cukup dengan teknologi jarak jauh atau bahkan serangan digital, perang dapat dimulai hanya dengan menekan sebuah tombol.

Ia juga menekankan perlunya pembentukan institusi yang mampu memberikan peringatan dini (early warning) kepada Presiden. Saat ini, Indonesia belum memiliki lembaga yang secara khusus menjalankan fungsi tersebut dalam kerangka keamanan nasional. Padahal, dengan ketidakpastian global yang terus meningkat, sistem peringatan dini adalah salah satu elemen kunci dari ketahanan negara.

Selanjutnya, Dr. Nurhayati Assegaf, yang menyoroti kepemimpinan global yang semakin tidak stabil, terutama dengan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat. Ia menilai bahwa konflik global akan terus berlangsung selama kepemimpinan yang impulsif tetap mendominasi. Nurhayati juga mendorong penguatan diplomasi digital, perluasan kerja sama dengan negara-negara Global South, serta peningkatan keterlibatan perempuan dalam kebijakan luar negeri dan diplomasi perdamaian.

Sementara itu, Dr. Ahmad Yani menyoroti tantangan dalam penyesuaian struktur pemerintahan terhadap visi dan misi besar Presiden Prabowo. Ia menyampaikan bahwa struktur kabinet yang ada saat ini perlu lebih diselaraskan agar mampu mendukung agenda strategis ketahanan nasional. Selain itu, ia menegaskan pentingnya optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak, cukai, serta pengelolaan sumber daya alam.

Terkait dengan ketahanan air (water resilience), Dr. Rahmi Fitriyanti mengusulkan pembentukan lembaga khusus yang menangani hal tersebut, sebagai bagian integral dari sistem ketahanan nasional. Ia juga menekankan perlunya penempatan pasukan cadangan di wilayah strategis seperti Selat Malaka, Laut China Selatan, dan wilayah timur Indonesia.

Selanjutnya, Bu Dian menyoroti pentingnya penguatan kemampuan counter-intelligence dan pengembangan satuan perang siber (cyber warfare unit) sebagai bentuk pertahanan non-konvensional yang semakin relevan di era digital. Gagasan pemanfaatan aset strategis nasional juga dikemukakan oleh Drs. Ramlan, yang menyarankan kerja sama teknologi pertahanan melalui mekanisme barter atau pemanfaatan pulau-pulau strategis untuk pengembangan kerja sama militer bersama negara mitra.

Teguh Santosa, dalam paparannya, menegaskan bahwa dalam dunia internasional yang anarkis, setiap negara dituntut untuk mengutamakan kepentingan nasional. Ia mengingatkan bahwa ketahanan nasional bukan hanya terletak pada kekuatan militer, tetapi juga pada kekuatan sumber daya manusia yang harus ditingkatkan.

Menutup forum, Dr. Syahganda Nainggolan menegaskan urgensi pembentukan Undang-Undang Keamanan Nasional serta pembentukan Dewan Keamanan Nasional. Beliau juga mendorong pelibatan aktor non-negara seperti organisasi sipil, akademisi, dan komunitas profesional dalam mendukung ketahanan nasional. Ia menekankan bahwa diplomasi politik luar negeri bebas-aktif tetap relevan, namun harus diarahkan pada pencapaian keseimbangan kekuatan dan perlindungan terhadap kepentingan nasional Indonesia.

Melalui FGD ini, Great Institute menegaskan komitmennya untuk menjadi ruang kajian strategis yang solutif dan berbasis pada data, analisis kebijakan, serta pendekatan lintas sektor. Di tengah tantangan global yang semakin tidak terprediksi, Indonesia perlu memperkuat ketahanan nasionalnya secara menyeluruh, tidak hanya dari sisi militer, tetapi juga dari sisi ekonomi, energi, pangan, dan air.

Peserta Acara FGD.

  • Sambutan: Dr Syahganda Nainggolan
  • Moderator: Omar Thalib
  • Pemantik: Drajad Hari Wibowo, Dr. Anton Permana, Helmy Fauzy
  • Narasumber: Komjen Iza Fadri Dr. Stepi Anriani, Dr. Rizal Darma Putra, Dr. Sunoto, Dr. Nur Hayati Assegaf Dr. Zaman Syah Ahmad Yani, Dr. Rahmi, Bu Dian, Dr. Ramelan, Teguh Santosa

Bagikan