title
GREAT Lecture
Jun 20, 2025
4 mins read

Prabowonomics dan Tantangan Terbesar di Era Perang Global

Bagikan

Resume dan Pokok Pembicaraan

GREAT Institute menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Prabowonomics dan Tantangan Terbesar di Era Perang Global” pada 14.00 WIB sd 17.00 WIB, Jumat, 20 Juni 2025. Acara ini menghadirkan Dr. Fuad Bawazier sebagai pembicara utama, dan direspons oleh para penanggap dari lintas sektor: Bursah Zarnubi, Musa Rajekshah, Moh. Jumhur Hidayat, Rauf Purnama, Adhamaski, dan Helmy Fauzy. Diskusi ini diikuti lebih dari 250 peserta dari kalangan akademisi, praktisi, pemerintahan, mahasiswa, dan aktivis.

Pembukaan: Ekonomi Perang dan Tantangan Koordinasi Nasional

Ketua Dewan Direktur GREAT Institute, Dr. Syahganda Nainggolan, membuka forum dengan menyoroti efek lanjutan dari perang global yang kini simultan terjadi di berbagai kawasan: Rusia–Ukraina, Iran– Israel, dan India–Pakistan. Konflik ini mendorong harga minyak dunia ke level kritis dan menambah ketidakpastian ekonomi global. Ia menyinggung sikap Indonesia yang hadir dalam forum Rusia ketimbang G7 sebagai isyarat keberpihakan, namun mempertanyakan kesinambungan sikap itu di tataran pelaksana. Koordinasi antarpejabat publik, menurutnya, masih terjebak pada agenda sektoral, alih-alih fokus membangun ketahanan energi dan pangan. Ia juga menekankan perlunya membangun sistem komando nasional agar Indonesia tidak terjebak menjadi negara gagal dalam menyikapi krisis global.

Paparan Utama: Menegakkan Pasal 33 sebagai Fondasi Prabowonomics

Dalam paparan utamanya, Dr. Fuad Bawazier menggarisbawahi bahwa Prabowonomics bukan jargon semata, tetapi harus dipahami sebagai peneguhan terhadap Pasal 33 UUD 1945. Ia menekankan bahwa penguasaan negara atas sumber daya alam dan sektor strategis adalah fondasi ekonomi nasional yang wajib ditegakkan secara konsisten. Ia mengingatkan bahwa semangat ini sudah dirintis oleh Bung Karno melalui UU No. 44 dan dilanjutkan Soeharto dengan penguatan industri energi nasional.

Namun setelah reformasi, liberalisasi menyebabkan kerusakan tata kelola: penguasaan tambang oleh swasta, kerusakan lingkungan, dan berkurangnya penerimaan negara. Fuad menekankan bahwa tambang tetap dibutuhkan, asalkan dikelola dengan tata kelola yang baik dan hasilnya dikembalikan untuk rakyat. Ia mengkritik praktik eksploitasi SDA oleh asing maupun oligarki domestik, dan menyerukan agar seluruh skema kebijakan dirumuskan berdasarkan komitmen terhadap pemerataan dan keadilan ekonomi.

Tanggapan: Perspektif Daerah, Legislasi, Ketenagakerjaan dan Teknokrasi

Enam penanggap utama merespons paparan Fuad Bawazier:

Bursah Zarnubi menyebut Prabowonomics sebagai ide besar yang butuh dikawal dengan komitmen, konsistensi, dan kesinambungan. Ia menekankan pentingnya membangun ekonomi berbasis rakyat dengan koperasi sebagai tulang punggung, bukan hanya melalui skema Perseroan Terbatas yang kapitalistik. Pembangunan SDM dan penguatan desa menjadi prioritas, terutama melalui pendekatan berbasis STEM untuk mendukung industrialisasi nasional.

Musa Rajekshah menggarisbawahi peran DPR dalam memastikan Inpres-Inpres yang sudah dikeluarkan Presiden Prabowo menjadi bagian dari arsitektur hukum pembangunan. Ia menyebutkan sembilan Inpres yang telah diterbitkan hingga pertengahan 2025 sebagai bukti arah kebijakan mulai terbentuk. Ia juga mengingatkan agar Indonesia tidak terus bergantung pada investasi asing, dan mulai menggarap potensi SDA seperti rempah-rempah yang dahulu menarik perhatian dunia.

Moh. Jumhur Hidayat menekankan bahwa Indonesia menghadapi ancaman bencana demografi jika tidak mampu mengelola bonus demografi saat ini. Ia mendorong disusunnya UU Sistem Perekonomian Nasional untuk memperjelas peran negara, swasta, koperasi, dan BUMN. Ia juga menyoroti pentingnya intervensi pada rantai distribusi agar nilai tukar petani dan daya beli rakyat bisa meningkat. Diskusi ini, menurutnya, harus dilanjutkan dalam bentuk proceedings agar arah Prabowonomics semakin konkret. Ke depan, Jumhur Hidayat mendorong Great Institute melanjutkan kegiatan ini dalam bentuk penyusunan proceedings dan policy brief sebagai bagian dari future work untuk memastikan gagasan yang muncul dalam forum ini dapat bertransformasi menjadi aksi kebijakan yang nyata dan sistematis.

Rauf Purnama menyederhanakan prasyarat keberhasilan Prabowonomics dalam tiga pilar: konsistensi terhadap Pasal 33, pengelolaan SDA yang berkelanjutan, dan penguasaan teknologi nasional.

Adhamaski Pangeran mengkritisi pemahaman sempit terhadap efisiensi dalam birokrasi. Ia menekankan bahwa efisiensi harus diukur berdasarkan rasio output terhadap input, bukan semata penghematan anggaran. Ia juga menyesalkan absennya perusahaan nasional besar pasca satu dekade proyek infrastruktur: tidak lahir satu pun “Hyundai” dari pembangunan masif yang sudah dilakukan, tidak seperti di Korea atau China.

Helmy Fauzy menutup sesi tanggapan dengan refleksi strategis bahwa dalam dunia yang penuh ketidakpastian, bangsa Indonesia harus mampu “berselancar di atas gelombang globalisasi”. Ia mengingatkan pentingnya menjaga posisi nasional dalam percaturan dunia dengan prinsip fleksibilitas strategis, bukan pasif atau reaktif.

Kesimpulan dan Tindak lanjut

Menanggapi seluruh pandangan, Syahganda Nainggolan menyampaikan tiga simpulan utama:

  1. Pentingnya penguatan penguasaan negara atas sumber daya alam.
  2. Perlu percepatan industrialisasi berbasis teknologi dan SDM.
  3. Urgensi pemanfaatan pergeseran kekuatan global sebagai peluang strategis.

Ia menekankan bahwa kegiatan ini bukan sekadar forum diskusi, melainkan panggilan untuk membangun sistem ideologis dan kelembagaan yang terstruktur di bawah kepemimpinan nasional. Jika tidak, maka Indonesia berisiko kehilangan arah di tengah pusaran krisis global yang semakin dalam.

Bagikan